TNI Tidak Boleh Berbisnis
Setelah membaca sebuah berita di situs antara yang berjudul “TNI Jangan Lagi Gunakan Aset Negara untuk Berbisnis“, saya sempat mengernyitkan dahi sejenak, sambil mengenang masa lalu ketika saya sering bermain sepakbola di lapangan yang notabene adalah lapangan milik TNI-AU.
Kondisi lapangan sangat tidak representatif, rumput gundul di sana sini, jala gawang yg koyak, tanah yang keras dan tidak rata, dsb. Toh kami masih bisa bermain secara gratis di lapangan itu, memang kadang kala ketika lapangan tersebut disewa oleh salah satu instansi, kita harus minggir bermain di sisi lapangan. Ya, lapangan itu ternyata memang disewakan (entah saat itu berapa biayanya).
Kalau mengacu dari pengalaman menyewa lapangan saat SMA, per-jamnya Rp. 7500, ini harga taun 1992/3 di Lapangan PSPT Tebet. Ndak mahal kok.
Tidak selamanya gratis itu mendidik, misalnya dalam kasus lapangan sepakbola ini, saya lebih setuju kalau TNI tetap diperbolehkan membisniskan lapangan ini ketika tidak mereka pergunakan. Tentunya perlu ada yg mengawasi agar dana yg masuk bisa dipergunakan untuk merawat lapangan, jadi ongkos sewanya tidak perlu mahal-mahal, yang penting cukup untuk perawatan lapangan (perawatan rumput, mengganti jala gawang yg rusak, dsb). Kalau mereka (TNI) tidak boleh memungut sewa lapangan, lalu dari mana mereka bisa menutup ongkos perawatan ? minta dari APBN ? Lebih tidak mendidik lagi.
Yang perlu diatur mungkin tinggal jadwal pemakaian lapangan, kapan dipakai secara internal, kapan disewakan dan kapan masyarakat umum (terutama anak-anak) boleh memakai secara gratis.
Saya bukan pengamat militer, bukan pula negarawan apalagi politisi, jadi saya ndak mau membahas bisnis TNI yang lain, yg belum tentu bisa disamakan dg kasus lapangan sepakbola ini.
NB.
Tidak semua lapangan yg dikelola TNI berkualitas buruk, salah satu lapangan yg memiliki kualias cukup baik adalah lapangan di dekat lapangan golf Halim (dekat komplek dirgantara), entah sekarang masih ada atau tidak, karna terakhir lewat sana banyak sekali gedung-gedung baru.
Leave a Reply