Save Arema
Tahun 2009 ini ditutup dengan kabar baik sekaligus kabar buruk buat Aremania. Kabar baiknya, Arema mampu menutup tahun 2009 dengan meraih pucuk pimpinan klasemen Liga Indonesia. Dari 12 kali main, Arema berhasil meraih 27 poin hasil dari 8 kemenangan dan 3 laga berakhir dengan hasil seri, serta baru menderita 1 kali kekalahan. Kabar buruknya, setelah pertandingan terakhir melawan Sriwijaya FC, muncul suasana tidak kondusif di internal tim. Perselisihan antara manajemen dengan pelatih menyeruak ke permukaan setelah Robert Rene Albert, sang pelatih asal Belanda tersebut melontarkan ketidakpuasannya terhadap beberapa kebijakan yang dilakukan oleh manajemen tim.
Gonjang-ganjing ini diperparah dengan “ancaman” dari Albert dan beberapa pemain kunci yang mengatakan kemungkinan mereka tidak akan kembali memperkuat Arema pasca liburan sebelum pihak manajemen memenuhi janji-janjinya.
Kalau kita lihat argumen dari Gunadi Handoko, yang tidak lain adalah direktur PT Arema Indonesia, yang menyebabkan pihak manajemen belum bisa memenuhi kewajibannya adalah karena krisis keuangan yang dialami oleh Arema. Kita sudah mahfum, dari tahun ke tahun Arema selalu dibelit masalah keuangan. Sumber dana utama bagi Arema adalah sponsorship dari PT Bentoel dan penjualan tiket.
Yang saya tidak bisa pahami adalah, kenapa sudah paham bahwa masalah terbesar adalah masalah keuangan, tapi tidak terlihat usaha dari manajemen untuk mencari sumber pendanaan lain ?
Pernah saya baca di salah satu artikel (lupa artikel online atau di koran), ada yang mengusulkan untuk memberdayakan penjualan merchandise/apparel arema (kaos, syal, dll) seperti yang lazim dilakukan oleh tim-tim sepakbola profesional di negara lain. Sayang sekali jawaban dari manajemen terlihat kurang memiliki sense bisnis. Manajemen tidak mau memberdayakan sektor tersebut karena takut mematikan bisnis masyarakat (memang selama ini produksi dan penjualan kaos serta atribut arema lainnya merupakan salah satu bisnis rumahan). Alasan manajemen terlihat cukup idealis, saya bisa memahami itu.
Topik ini sempat menjadi perbincangan hangat di kantor saya, walaupun hanya sebatas bincang santai bersama seorang teman khas obrolan warung kopi. Kala itu kita berdua sepakat, artinya kita sepakat bingung bareng, apa yang salah dengan manajemen arema. Kalau kita lihat, arema memiliki salah satu nilai lebih yang sebenarnya bisa dijadikan kartu truf dalam berbisnis. Ya, Arema sangat beruntung memiliki Aremania, Supporter fanatik yang kalau dilihat dari kacamata bisnis merupakan pasar potensial.
Kalau kita tarik ke ranah dunia maya, mungkin saja apa yang dialami oleh Arema ini mirip dengan Facebook dan Twitter, walaupun memiliki userbase yang sangat besar, tapi masih kesulitan mengkonversinya menjadi pemasukan (apa ini istilahnya, monetisasi kah?)
Ok, back to Arema. Kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh manajemen ?
Kalau kita lihat kasus bisnis merchandise/apparel di atas, sebenarnya manajemen masih bisa melakukan ini tanpa kehilangan idealismenya. Misalnya dengan cara berbagi sektor atau pun dengan cara kerjasama, PT Arema Indonesia memproduksi merchandise/apparel dengan kualitas VVIP (seperti yang umum dilakukan oleh tim-tim profesional negara lain), dan tetap tidak mengesampingkan idealismenya untuk tidak mematikan bisnis masyarakat, yaitu dengan cara tidak melakukan tindakan hukum kepada bisnis rakyat kecil yang memproduksi merchandise/apparel serupa dengan kualitas menengah ke bawah. Yang patut menjadi catatan adalah tidak semua orang memiliki daya beli yang sama, jadi Aremania yg ingin membeli merchandise dengan kualitas yg biasa-biasa saja, bisa memperolehnya di lapak-lapak pinggir jalan, sedangkan mereka yang memiliki daya beli lebih bisa memperolehnya dari outlet-outlet resmi Arema.
Ingat kasus dihukumnya Arema karena jumlah penonton yang membludak sampai ke area sentel ban (area di pinggir lapangan) kala menjamu Persipura ? Arema dihukum bertanding tanpa penonton dan harus membayar denda 50 juta. Padahal, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pendapatan dari penjualan tiket merupakan salah satu sumber dana utama. Kondisi seperti ini sebenarnya bisa menjadi pemicu andai saja manajemen cukup jeli memanfaatkan peluang.
Bahkan peluang ini diperkuat dengan aksi solidaritas Aremania kala pada laga hukuman tersebut para aremania tetap datang dan membeli tiket, walaupun mereka tidak boleh masuk ke dalam stadion. Aksi nonton bareng di luar stadion, dimana Aremania tetap membeli tiket (walaupun dg harga murah, Rp. 10 ribu ?). Apa yang ada dibenak anda ? Kalau saya kira-kira terlintas seperti ini:
1. Antusiasme Aremania
2. Kapasitas stadion terbatas
Seandainya saya adalah manajemen Arema, mungkin saya akan membuka Warung Kopi Arema (hahahaha, ini obsesi saya dari dulu, punya warung kopi). Satu tempat dimana para Aremania bisa berkumpul, di situ tersedia merchandise Arema, ada acara nonton bareng rutin yang bisa menampung Aremania yang tidak bisa hadir di stadion, baik karena alasan keterbatasan kapasitas maupun karena merasa lebih nyaman nonton bareng di suasana kafe. Keuntungan lainnya, bahkan ketika Arema harus bertandang ke kandang lawan, manajemen tetap mendapat pemasukan dari acara nonton bareng ini (bandingkan kalau hanya dengan mengandalkan penjualan tiket).
Basecamp ini pun bisa menjadi salah satu ikon Kota Malang, menjadi tujuan para wisatawan yang datang ke kota ini, seperti Jogger di Bali itu.
Banyak sebenernya yang bisa dilakukan oleh manajemen Arema, sayang sekali tampaknya mereka masih takut membuat gebrakan-gebrakan untuk mencari sumber dana alternatif. Sangat tidak arema sekali, padahal setau saya (setidaknya banyak kawan-kawan Arema yang bertaburan di seantero Indonesia ini) memiliki semangat untuk tidak bergantung pada sponsorship semata.
Ayo Arema, Salam Satu Jiwa.
Leave a Reply