Apes Membawa Nikmat
Sebenarnya sudah lama ingin mampir ke Grand Food Court (GFC), sebuah pujasera yang baru saja buka beberapa hari yang lalu, meskipun itu baru merupakan peluncuran awal (softlaunching) bukan peluncuran akbarnya.
Niat itu selalu saja kandas, penyebabnya terutama karena teman yang biasa saya ajak untuk berwisata kuliner masih sibuk mengurusi si kecil Keke. Iya, teman yang saya maksud itu istri saya … Hehehe
Hari minggu sore kemarin, si ibu ingin menyantap “Puthu Lanang”, nama sebuah lapak penjaja kue putu dan jajanan pasar yang sudah melegenda di kota Malang.
Lapaknya berlokasi di sebuah gang di pinggir jalan Jaksa Agung Suprapto, dekat Bank Mandiri.
Sampai di TKP, ternyata masih tutup. Entah karena hari minggu atau saya datangnya terlalu sore. Biasanya sih kalau beli di situ selalu pas pulang kantor, jadi memang biasanya beli agak malam.
Sambil memutar motor, langsung teringat GFC. Aha, kan di sana si puthu lanang buka lapak juga ya … Langsung saja tancap gas ke pujasera yang berlokasi tepat di sebelah gedung Telkom Blimbing itu.
Di atas kuda besi yang berjalan perlahan menyusuri jalan yang tampak lengang itu, pikiranku kembali menerawang. Mumpung akan mampir ke GFC, kira-kira apa ya yang layak diicipi?
Dari informasi yang sempat aku baca, baik hasil dari menjelajahi blog, mengintip kicauan di tanah para pengicau maupun membaca langsung situs GFC, konsep pujasera yang satu ini memang berbeda kalau dibandingkan dengan pujasera-pujasera lain yang sudah banyak betebaran di kawasan Malang Raya ini.
GFC berupaya menghadirkan kuliner-kuliner pilihan yang sudah punya nama besar di Malang. Jadi kalau saya pikir untuk masalah rasa sudah pasti tidak perlu dipertanyakan lagi. Justru ini yang membuat saya bingung harus memilih yang mana dulu.
Tak berapa lama akhirnya sampai juga di parkiran GFC yang cukup luas. Dan hati saya sudah mantap untuk membawa pulang putu, cenil dan lumpia. Iya, memang saya sedang tidak ingin berlama-lama di luar rumah.
Saat kaki melangkah masuk, tampak ruang yang cukup luas. Terlihat ada ruang lain di ujung belakang yang dibatasi oleh pintu kaca, sayang tak sempat mengintip seperti apa suasana di ruang tersebut. Beberapa televisi tergantung di dua titik. Deretan lapak kuliner top yang ada di Malang berderet di sebelah kiri. Memang tampak beberapa masih kosong. Suhu ruangan terasa nyaman, jejeran pendingin ruangan tergantung di bagian atas sebelah kiri-kanan. Para pegawai tampak bersliweran melayani para tamu.
Langsung saja saya memilih tempat duduk yang berada di tengah ruangan tepat di depan tv.
Tak lama berselang seorang bapak setengah baya berambut putih menyodorkan sebuah buku menu sambil bertanya “Silakan, berapa orang pak?”. “Satu orang” jawabku singkat sambil menarik kursi. Si bapak jelas bukan pegawai GFC karena semua pegawainya memakai seragam sedangkan si bapak tidak. Mmhh, mungkin dia pemiliknya. Sudah bukan hal yang aneh kalau di tahap awal peluncuran seperti ini si pemilik turun langsung ke lapangan. Tapi memang saya tidak sempat berbincang-bincang dengan si bapak. Kemudian si bapak beranjak ke meja lain sambil sesekali mengatur para pegawainya.
Sambil membalik-balik buku menu, tangan saya langsung mengaktifkan koneksi nirkabel di gawai yang setia menemaniku. Koneksinya lumayan cepat, mungkin karena saat itu pelanggan yang datang masih belum banyak. Mudah-mudahan sih tetap terjaga kualitasnya meskipun nanti tempat ini disesaki oleh para pemburu kuliner.
Harga yang dipatok juga tidak terlalu jauh dibanding lapak aslinya, sebagai contohnya harga putu di lapak aslinya sekitar 7000an, sementara di GFC dipatok 7500, hanya selisih lima ratus rupiah.
Tak sempat berlama-lama menikmati koneksi, datang si mbak yang menanyakan mau pesan apa.
Untuk minumnya saya memilih Lyche Breeze kemudian tiga porsi kue putu yang saya minta dibungkus, terus … Mmhh … belum selesai saya menyebutkan pesanan lainnya tiba-tiba si mbak menyela pesanan saya, “Maaf pak untuk putunya masih belum bisa dipesan”.
Damn, ini namanya apes … mau tidak mau tangan kembali menari di atas buku menu. Akhirnya pilihan jatuh ke Mie Gadjah Mada. Ketika menunggu pesanan datang terdengar dering ponsel, telpon dari si ibu. Ternyata di rumah sedang tidak ada makanan, jadi saya dititipi untuk membeli lauk. Saya sebut saja beberapa lapak yang terlihat dari tempatku. Oke, kita sepakat untuk mencoba Rawon Tessy, saya pesankan seporsi rawon buntut dan seporsi rawon iga untuk dibawa pulang.
Singkat cerita, selesai menyantap mie dan meneguk segelas leci, saya pun beranjak pulang. Sesampai di rumah, langsung dilanjut dengan melahap dua jenis rawon yang tadi saya beli. Soal rasa tak usah dipertanyakanlah, baik yang saya santap di pujasera maupun yang di rumah, semuanya mantap. Hanya ada yang kurang sedikit, kecambah sebagai teman makan rawon yang disertakan ternyata sedikit sekali. Tapi oke lah, mungkin sedikit khilaf ๐
Dan oh iya, ternyata saya sampai lupa kalau tadi ingin mengicipi lumpia …. hihihihi, lain waktu lah mampir lagi ke sana ๐
Leave a Reply