Distro vs Remaster
Banyaknya ragam distro Linux yang beredar, di satu sisi merupakan kelebihan, karena kita sebagai pengguna memiliki lebih banyak pilihan. Tapi di sisi lain juga sekaligus merupakan satu kelemahan, terutama bagi pengguna awam, semakin banyak pilihan justru membuat semakin bingung.
Saya sedang tak ingin membicarakan masalah maraknya distro-distro baru yang terus bermunculan ini. Toh itu adalah sebuah keniscayaan, tak perlu dibahas panjang lebar. Dengan tersedianya kode sumber dan tersedianya peralatan pembuat distro secara instan, siapapun dapat dengan mudah membuat distro baru. Yang ingin saya bicarakan sekarang juga bukanlah hal baru, saya menganggap kesalahkaprahan yang menahun ini ada baiknya tidak terus menerus terjadi. Setiap ada distro baru yang muncul, terutama distro buatan anak bangsa, sering saya mendengar “perdebatan” tentang topik “Distro vs Remaster”. Dan saya cukup lelah kalau harus berdebat terus-menerus, dari situ akhirnya saya putuskan untuk menulis saja di blog tentang hal ini, supaya saya tidak perlu mengulang-ulang pendapat yang saya yakini.
Singkatnya, ada yang mendefinisikan distro dan remaster seperti ini:
Distro: harus mempunyai repositori sendiri, memiliki program yang khas (tidak dimiliki oleh distro lainnya)
Remaster: salah satu dari syarat di atas tidak terpenuhi
Di mana salah kaprahnya ? Setidaknya ada dua hal, hal itu salah jika ditinjau dari semangat pemakaian kembali komponen-komponen perangkat lunak yang sudah ada, dan salah juga jika dilihat dari sisi pemakaian bahasa.
Dalam dunia perangkat lunak berkode sumber terbuka, salah satu semangat yang dijunjung tinggi adalah pemanfaatan kembali komponen-komponen perangkat lunak yang sudah ada atau sudah dibuat oleh orang lain alih-alih membuat sendiri semua komponen itu. Jadi pernyataan bahwa sebuah distro harus memiliki program yang khas atau tidak dimiliki oleh distro lainnya itu justru bertentangan dengan semangat ini.
Seandainya saya adalah seorang programmer, tentu saya ingin aplikasi yang saya buat ada di banyak distro, tidak hanya eksklusif ada di satu distro. (semangatnya beda lagi kalau yang membuat aplikasi ternyata adalah perusahaan yang memang ingin membuat distronya eksklusif, berbeda dengan distro lain, sehingga memutuskan untuk memasukkan aplikasi khas. Seperti misalnya jaman dulu ada yast di suse).
Di komunitas Fedora, para programmer justru didorong untuk membuat aplikasi buatannya dapat digunakan di banyak distro. Sudah banyak aplikasi yang awalnya hanya digunakan di Fedora (menjadikan Fedora sebagai inkubator), saat ini akhirnya dipakai juga di distro-distro lain.
Sebagai sebuah distro, tentu tidak semua hal dikembangkan sendiri oleh internal tim, ada juga bagian-bagian yang dikembangkan oleh pengembang di luar tim. Salah satu semangat yang juga ditanamkan di komunitas Fedora adalah semangat untuk bekerja sama dengan para pengembang hulu (upstream developer). Jika memungkinkan, perbaikan yang dilakukan harus dikontribusikan kembali ke proyek asalnya, perbaikan tersebut tidak hanya disimpan untuk kepentingan distro itu sendiri, tapi agar dapat dimanfaatkan oleh distro-distro yang lain.
Kegagalan dari definisi distro yang harus memiliki aplikasi yang khas dan harus memiliki repository sendiri juga bisa dibuktikan dengan cara seperti ini:
Misalnya, saya membuat distro dengan cara me-remaster ubuntu, kemudian saya tambahkan satu program khas, sebut saja nama program ini adalah program “hello world” dan kebetulan saya memiliki koneksi internet dan ruang harddisk yang mencukupi, maka saya pun akhirnya mampu menyediakan repositori untuk distro saya ini. Nah, tentu kalau mengikuti definisi di atas, distro buatan saya ini sudah bukan lagi sekadar distro remaster, tapi silakan Anda nilai sendiri 🙂
Sekarang kalau kita tinjau dari segi bahasa, kata “distro” sendiri termasuk sebagai kata benda, sementara kata “remaster(ing)” termasuk sebagai kata kerja. Jadi jelas sangat tidak masuk akal kalau membandingkan kedua kata tersebut 🙂
Sebuah distro bisa dibuat baik dengan cara melakukan remastering atau dengan cara membuatnya dari awal.
Lalu dari mana awalnya hingga muncul kesalahkaprahan seperti ini ? Saya tidak sempat mencari tahu lebih jauh, tapi kalau tidak salah ini berawal dari argumentasi para pengembang linux blankon yang ingin membuat citra distronya berbeda dari distro-distro hasil remaster yang lain. Distro linux BlankOn, dan beberapa distro turunan lainnya, memang tidak sama seperti distro-distro hasil remaster lainnya yang hanya melakukan sedikit perubahan di tampilan dan memasukkan aplikasi-aplikasi tambahan. Meski ia lebih dari sekadar distro hasil remaster, mungkin lebih cocok kalau disebut sebagai distro turunan, tapi tetap saja semuanya itu disebut distro.
Kesalahkaprahan lain yang sempat muncul dari komunitas blankon adalah tentang “kutukan blankon”, ini adalah kondisi di mana bila kita mengusulkan suatu ide maka kita juga yang harus melaksanakannya. Sebagian orang menganggap itu merupakan suatu tradisi, sementara sebenarnya itu bukan tradisi, tapi hal tersebut muncul karena keterbatasan SDM semata.
Leave a Reply