Pucuk Daun Teh di Lereng Gunung Arjuno
Semilir udara sejuk berhembus menemani sore yang berbalut kabut tipis. Suasana khas pegunungan ini bertambah syahdu dengan hujan rintik-rintik yang sudah sejak siang tadi turun menyapa ramah.
Sambil menikmati secangkir teh rolas hangat, tampak hamparan pohon teh yang menghijau. Dari pucuk-pucuk daun yang ada di depanku ini secangkir teh yang tersaji di atas meja berasal.
Teh rolas, yang dalam bahasa Indonesia berarti teh dua belas, merupakan teh yang diproduksi oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XII. Badan usaha milik negara ini mengelola areal perkebunan yang terletak di lereng gunung Arjuno. Perkebunan yang berada pada ketinggian 950 – 1.250 meter di atas permukaan laut ini tepatnya berada di desa Toyomarto dan Wonorejo kecamatan Singosari dan Lawang, kabupaten Malang. Tak sulit menemukan lokasinya, papan penunjuk arah jelas terpasang di sepanjang jalan menuju ke lokasi perkebunan.
Bahkan untuk para pengunjung yang tak memiliki kendaraan pribadi, tersedia jalur angkutan kota SLKW yang akan mengantarkan Anda dari Singosari sampai ke sebelah parkiran di kebun teh Wonosari.
Jalan menuju ke tempat wisata agro ini beraspal mulus, hanya memang tidak cukup lebar hingga bila kita bersua dengan mobil dari arah berlawanan kita harus mengurangi kecepatan dan meminggirkan kendaraan bahkan kadang sampai harus keluar ke badan jalan. Kondisi jalan seperti ini yang mengakibatkan waktu tempuh agak lama meski jarak sebenarnya tidak lebih dari 6 km dari ruas jalan protokol Surabaya-Malang. Meski jalan menuju ke sana tak terlalu lebar, banyak pengunjung yang mengendarai bis atau truk. Untungnya parkiran di sana sangat luas.
Di sepanjang perjalanan, kita dapat menjumpai banyak lapak penjual durian dan nangka yang memang banyak ditanam penduduk di halaman atau kebunnya sendiri. Selain kedua buah tersebut, ada juga warga yang membudidayakan buah naga.
Perkebunan yang dibuka pada zaman kolonialisme Hindia-Belanda ini pertama kali dikelola oleh perusahaan NV. Cultuur Maatschappij pada tahun 1910. Di masa itu, selain teh juga dibudidayakan tanaman kina. NV. Cultuur Maatschappij sendiri berdiri pada tahun 1875 – 1918. Kemudian pada masa penjajahan Jepang tahun 1942-1945 sebagian tanaman teh ini digantikan oleh tanaman pangan untuk mendukung kebijakan pemerintah Jepang.
Kita masih bisa melihat tempat di mana tanaman teh yang pertama kali ditanam di perkebunan ini. Sebuah prasasti telah dibuat untuk mengabadikan lokasi pertama kali teh tersebut ditanam. Karena tulisan di prasasti tersebut sudah tak terbaca, pengelola membuatkan sebuah plang yang berisi keterangan dalam 4 bahasa: bahasa Jawa, Belanda, Inggris dan Indonesia.
Baru setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945, pemerintah mengambil alih perkebunan tersebut dan memakai nama Pusat Perkebunan Negara (PPN). Dan pada tahun 1950 tanaman kina tidak lagi dibudidayakan di sana, teh lah yang dipilih untuk menggantikannya.
Tak hanya memanjakan mata dengan hijaunya dauh teh dan segarnya udara pegunungan, di sana pun kita bisa menikmati fasilitas-fasilitas lain seperti kebun binatang mini, permainan paint ball, kolam renang air hangat, atv, flying fox dan lain sebagainya.
Kalau ingin mengelilingi kebun teh, kita bisa memilih untuk berjalan kaki (jangan lupa bawa payung ya, karena memang di sini sering turun hujan) atau menyewa kuda. Bisa juga kita naik kereta kelinci yang murah meriah.
Wisata agro di pegunungan seperti ini bukan berarti lalu harus terkucil dari dunia luar, di kebun teh ini sinyal telepon cukup baik diterima, setidaknya dua produk penyedia telekomunikasi yang sempat saya coba adalah XL dan Matrix. Malah untuk XL saya masih dapat terkoneksi menggunakan HDSPA 🙂 Memang ada blankspot di beberapa titik.
Selain itu di beberapa titik, pihak pengelola juga menyediakan hotspot untuk akses internet.
Tak usah takut kelaparan, di sini banyak orang berjualan bahkan ada toko swalayan yang siap melayani kita. Dari sekadar jagung bakar, bakso, roti, camilan sampai kebutuhan rumah tangga tersedia semua. Bila ingin bermalam, tersedia kamar atau wisma yang bisa disewa dengan harga sangat terjangkau. Bahkan saat penginapan lain menaikkan sewanya berlipat-lipat kala musim liburan, penginapan di sini hanya menaikkan 25-50 ribu rupiah.
Sayang sekali aspek sejarah dari tempat ini tidak terlalu diekspos. Hal lain yang cukup disayangkan adalah kita tak dapat melihat aktivitas pemetikan dan proses pembuatan teh selama hari libur. Padahal pengunjung justru banyak datang di hari libur.
Tapi secara keseluruhan saya sangat senang bisa mengunjungi tempat ini, dua hari satu malam yang saya lalui di sini pun terasa masih kurang.
Leave a Reply