Appreciative Inquiry
Ini lanjutan dari reportase acara “Dialog interaktif Strategi Kolaborasi Global”
Topik terakhir yang dibahas adalah mengenai Appreciative Inquiry.
Train the Trainer “Appreciative Inquiry”
Jujur, pertama kali baca sub topik yang tertera di backdrop ini saya tidak mengerti apa maksudnya. Amin menjelaskan kalau dia ingin sekali berbagi dan menyebarkan salah satu metode pengembangan organisasi yang disebut dengan “Appreciative Inquiry”
Ia berharap para peserta yang hadir dapat ikut menyebarkan metode ini, itulah kenapa ia memberi tajuk Train the Trainer.
Sederhananya, metode appreciative inquiry ini adalah metode yang memiliki fokus untuk meningkatkan apa yang menjadi kekuatan pada suatu organisasi alih-alih menghilangkan apa yang menjadi kelemahan organisasi tersebut.
Menurutnya kelemahan tetap harus dikelola, tapi kita harus lebih fokus untuk meningkatkan apa yang menjadi kekuatan kita.
Salah satu contoh yang diberikan, ada banyak perusahaan yang mengirimkan pegawainya untuk mengikuti pelatihan-pelatihan agar kelemahan dari pegawai tersebut bisa dihilangkan. Mengubah kebiasaan buruk pegawai bukanlah pekerjaan mudah, mungkin saat mengikuti pelatihan kinerja pegawai tersebut bisa meningkat, tapi seiring waktu, kebiasaan buruk tersebut akan kembali lagi.
Akan jauh lebih mudah dan efektif untuk meningkatkan apa yang menjadi kekuatan mereka dibandingkan harus menghilangkan apa yang menjadi kelemahan mereka.
Contoh kedua yang diberikan adalah tentang Tiger Woods, pegolf profesional yang namanya sangat mendunia. Pegolf ini memiliki kelemahan kalau harus memukul bola di pasir. Untuk mengatasi ini, ia tidak memanggil pelatih pasir terbaik, tapi ia justru berlatih keras memukul bola di lapangan normal dengan lebih baik. Ia sadar, bila pukulannya di lapangan normal baik, maka bola tidak akan pernah masuk ke pasir. Hingga ia pun tak perlu bersusah payah berlatih memukul bola di pasir.
Itulah dua contoh sederhana yang dipakai untuk menggambarkan apa itu appreciative inquiry. Metode ini pun banyak dipakai tidak hanya untuk pengembangan organisasi tapi juga bisa dipakai di banyak tempat, termasuk untuk pengembangan diri (pribadi).
Salah satu perusahaan yang mengimplementasikan metode ini adalah British Airways.
Bagaimana caranya menjadi guru yang baik? Ah, ini pertanyaan yang agak sedikit out of topic, tapi tetap nara sumber kita ini mau berbagi.
Amin yang juga adalah seorang karateka ini memberikan beberapa pemikirannya. Menurutnya hal yang pertama adalah kita harus memiliki sistem/metode baku. Bisa saja kita menurunkan ilmu kita ke orang lain tanpa melalui sebuah sistem/metode baku, tapi hal tersebut akan berakibat pada lamanya waktu yang diperlukan untuk mentransfer ilmu. Ia pun mencontohkan di dunia karate yang digelutinya, seorang karateka diawal latihannya tidak akan langsung disuruh berduel (kumite), tapi akan diberi latihan teknik-teknik dasar, seperti teknik pukulan, tangkisan, tendangan dan bantingan. Ini saja butuh waktu lama untuk menguasainya. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari jurus-jurus kembangan, baru nanti setelah itu boleh berkumite.
Hal kedua yang dianggapnya penting adalah keikhlasan si guru ketika menurunkan ilmunya.
Sekali lagi Amin menceritakan pengalamannya di dunia karate. Suatu saat ada seorang penyandang cacat yang ingin berlatih karate di tempat ia berguru. Dalam hati Amin menertawakannya, bagaimana mungkin orang tersebut mampu berlatih karate kalau untuk memukul lurus saja ia kesulitan. Tapi sensei (guru) nya menerima orang tersebut menjadi muridnya. Dilatihlah orang tadi, setiap kesalahan dibenarkan dengan sabar, sampai akhirnya orang tersebut mampu menguasai ilmu beladiri ini.
Dari situ terlihat si sensei mampu dengan ikhlas tanpa membeda-bedakan muridnya ketika menurunkan ilmunya.
Karena waktu yang terus berjalan, akhirnya moderator pun menutup dialog kali ini.
Seselesainya mengikuti acara dialog ini, kita sempat ngobrol-ngobrol dengan pak Sis. Ah, ternyata datang juga tho. Dan bu Zam dari kominfo juga ternyata hadir di kampus elang ini.
Yuk bikin acara lagi yuk ….
Leave a Reply